Senin, 07 Juli 2008

Nilai Etika & Estetika

PERGESERAN paradigma pendidikan tak semuanya membawa keuntungan. Selalu ada kelemahan, selalu ada celah kekurangan. Semula kita menganut paham bahwa pendidikan untuk membentuk karakter budi pekerti anak didik, namun pada gilirannya kemudian kita menganut paham pendidikan untuk melakukan transfer pengetahuan pada siswa. Kini kita sepaham, pendidikan diarahkan demi pemberdayaan siswa. Akan tetapi, mengapa kekerasan dan dehumanisasi justru kian mengeras, merasuki kehidupan geng remaja yang terselubung organisasi? Bersamaan dengan gairah mencapai mutu pendidikan, kita mengadopsi Total Quality Management, yang dicangkok dari dunia industri. Kesalahan itu terjadi ketika kita menjadi pragmatis, bahkan sangat pragmatis, untuk mencapai mutu pendidikan yang mengutamakan kepuasan ”pelanggan” (siswa, orang tua siswa, dan masyarakat).Siswa dinyatakan lulus dan berprestasi dengan standar angkaangka UN. Siswa melanjutkan pendidikan ditentukan pula dengan angkaangka UN dan kemampuan menanggung biaya pendidikan.
Tak ada lagi pembinaan budi pekerti. Tak ada lagi pembinaan moralitas. Tak ada lagi religiusitas. Lenyap sudah eksistensi para siswa sebagai manusia berbudaya. Bahkan, penalaran, sikap kritis, humanisme, lenyap dibentak ke bawah telapak kaki. Terjadilah kejutan-kejutan penyimpangan yang dilakukan kaum terdidik, di antaranya kekerasan geng yang dilakukan para siswa. Betapa tak berdaya moralitas guru, orang tua, dan masyarakat.
***Kekerasan yang dilakukan kaum terdidik terhadap yuniornya demi tuntutan eksistensialisme remaja, menandai krisis jati diri dan moralitas, terselubung mata rantai geng yang merasuk antargenerasi. Ini buah kegagalan pendidikan keluarga dan masyarakat, yang mencorengkan aib di lingkungan sekolah. Apalagi kini dunia pendidikan kita telah terjebak pada paham pragmatisme itu ketika mengutamakan hasil (angka UN) yang diraih dengan jalan pintas (drill), dan bukan pemberdayaan nilai-nilai dan pengetahuan dalam penerapan kehidupan sehari-hari untuk menghadapi arus kuat goncangan kebudayaan di masa sekarang dan yang akan datang. Memang banyak hal yang dianjurkan Total Quality Management (TQM) dalam pendidikan yang tak berbasis pragmatisme. Banyak di antara prinsip TQM selaras dengan kehendak kita melakukan pemberdayaan para siswa. Prinsip kaizen adalah perbaikan sedikit demi sedikit (step by step improvement), membangun kesuksesan dan kepercayaan diri siswa dan mengembangkan dasar peningkatan selanjutnya.
Prinsip kaizen ini diinggkari dunia pendidikan kita. Tergoda kita untuk melakukan lompatan-lompatan besar, melupakan perkembangan proses demi proses. Kita lebih suka perubahan berskala besar yang pragmatis: penerapan kurikulum baru, memacu pembelajaran berskala global (imersi), membuka kelas akselerasi, dan pengadaan sarana-prasarana yang dibebankan para orangtua siswa melalui sumbangan pengembangan institusi (SPI). Keunggulan kaum terdidik diarahkan pada pencapaian angka-angka kelulusan UN. Begitu mudah kita mengidentifikasi kesuksesan pendidikan dengan angka-angka UN. Bukan dengan perubahan kultur. Bukan dengan religiuasitas. Bukan dengan humanisme. Bukan dengan budi pekerti. Estetika dan etika telah jauh dicampakkan di bawah telapak kaki para siswa. Penganiayaan senior terhadap yuniornya dalam geng-geng remaja belakangan ini menampakkan betapa para siswa tidak memiliki kebajikan. Bahkan, mungkin, mengalami kepribadian terbelah (split personality), yang menampakkan kealiman di sekolah, tetapi melakukan kekerasan di gengnya untuk menemukan krisis eksistensial.
Penyimpangan terhadap kebanggaan identitas diri yang menyeret para siswa melakukan kekerasan dan militerisme, demi ”ketangguhan”, menampakkan kebanggaan semu. Mengapa sekolah-skeolah kita tidak menyempurnakan proses pendidikan sebagai charakter building, dan bukan sekadar transfer of knowledge? Sekolah-sekolah kita, dalam siasat mencapai kelulusan UN dengan angka yang tinggi, melakukan drill yang jauh lebih buruk dari proses transfer of knoowledge. Tidakkah kita terketuk untuk memulai kembali pendidikan dengan semangat kecintaan, saling menghormati, saling menyayangi, dan saling asah-asuh? Tidakkah kita ingin mengembalikan pendidikan sebagai proses pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan nilai-nilai?
Sudah mendesak, bagi kita sekarang, untuk melakukan pendidikan karakter melalui estetika (sastra, seni) dan etika (akhlak, moral, budi pekerti). Jadikan kedua unsur ini sebagai kriteria kenaikan kelas atau kelulusan. Atau, kalau memang kita ingin melakukan pendidikan karakter, belum terlambat untuk mematok kriteria kelulusan UN dengan estetika, etika, dan logika. Jelas, untuk melakukan penilaian ini, guru yang bersangkutanlah yang memiliki peran, karena memahami perkembangan siswa secara langsung. Bukan negara yang merampas hak untuk menguji dan meluluskan siswa. Mestinya guru menjadi model dan teladan bagi pembentukan pendidikan karakter. Para siswa yang unggul dalam estetika dan etika, mendapat penghargaan dan menjadi teladan bagai siswa yang lain. Selama ini kita selalu memuja pada prestasi sains, dan mengabaikan pencapaian-pencapaian prestasi estetika dan etika. Segala upaya untuk mencapai prestasi sains selalu dianggap sebagai unggulan, sementara estetika dan etika dicampakkan.
***Atmosfer pendidikan karakter yang merasuk dalam keseharian interaksi guru-siswa, tentu akan membalikkan krisis pekerti dan spiritualisme. Pragmatisme yang diterapkan para manajer pendidikan, sekilas memang mencapai prestasi sebagaimana yang diharapkan pemerintah, tetapi sungguh akan merusak karakter bangsa. Kita membentuk karakter manusia yang menyukai jalan pintas, keuntungan - keuntungan yang bersifat sementara, tanpa peduli dengan penderitaan orang lain. Terjadilah dehumanisasi kaum terdidik. Sebagaimana Sokrates, mestinya guru membela ajaran ”yang benar” dan ”yang baik” sebagai nilai-nilai objektif yang harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua orang. Jangan dibiarkan anak didik mengembangkan pengalaman - pengalamannya sendiri yang menyimpang adri etika dan humanisme. Jadikanlah sekolah sebagai proses pembudayaan (enkulturisasi) peserta didik. Dengan demikian, mereka menjadi manusia yang memiliki keadaban (civility) yang mengembangkan kecerdasan sosial, spiritual dan moral. Kekuatan pembelajaran etika dan estetika akan mengembalikan para siswa menjadi manusia yang memiliki nilai humanisme dan cita rasa keindahan, yang biasanya dekat dengan pencerahan jiwa. Ini mencegah kebrutalan. Menjauhkan para siswa dari perilaku sadis dan meretas ikatan-ikatan jaringan geng yang terselubung dalam dunia pendidikan. hf
S Prasetyo Utomo Dosen IKIP PGRI Semarang, mahasiswa pascasarjana program Magister Manajemen Pendidikan UMS
Pendidikan bagi Masa Depan

Pendidikan. Yup, tentu tak sedikit dari kita yang telah banyak mengenyam asam cuka di dunia pendidikan. Tapi, banyakkah dari kita yang telah sadar akan esensi dari pendidikan yang telah lama kita lalui tadi?
Pendidikan, awalnya timbul dari kegelisahan umat manusia akan pentingnya proses belajar dan diajar. Rasa ingin tahu yang memenuhi benak tiap orang lantas dilimpahruahkan pada pendidikan. Sebagai makhluk rasional, manusia membutuhkan banyak asupan gizi berupa ilmu pengetahuan. Dan, disinilah arti penting pendidikan bagi manusia.
Kebutuhan manusia akan pendidikan bermula dari dini usia mereka. Pendidikan sejatinya adalah suatu proses transisi atas perkembangan pemikiran dan wawasan intelektual bagi manusia. Kemudian, manusia membentuk institusi demi menaungi hasrat belajar-mengajar yang timbul di benak mereka tadi. Institusi tersebut pun beragam, mulai dari lingkup keluarga dengan ayah dan ibu yang menyokong anak-anak mereka dengan pendidikan secara dasar. Kemudian institusi keagamaan yang konon sebagai pilar penopang jalan hidup umat manusia untuk senantiasa berada pada jalur pendidikan, pula sebagai operator bagi causa prima yang membuncah dari tiap otak manusia. Siapakah aku? Dari manakah aku berasal?
Kemudian institusi yang mungkin bersifat formal dikembangkan. pula lebih kompleks mulai dari kurikulum serta basis material lain yang ada di dalamnya. Di antaranya, mulai dari sekolah dasar hingga ke bangku perguruan tinggi.
Perkembangan basis material dari pendidikan formal terus berkembang seiring berlalunya waktu. Tak kurang dukungan dari pemerintah bagi dunia pendidikan. Para kaum teknokrat pun diturunkan guna menyusun konsep-konsep dasar bagi pendidikan. Pemerintah tentu sadar betapa keberhasilan suatu negara berkorelasi positif dengan kualitas sumber daya manusia yang mereka miliki.
Di banyak negara, terutama di negara-negara utara, tak sedikit nominal dana yang dikucurkan pemerintahan di masing-masing negara tersebut pada sektor pendidikan. Di Jerman tiap penduduk berhak untuk menikmati pendidikan gratis yang disediakan pemerintah di negara tersebut. Bahkan, pemerintah Jerman memberi subsidi bagi para pelajar di sana. Fenomena yang terjadi di Jerman juga dapat kita lihat di Luxemburg, Swedia, dan negara-negara di benua Eropa lainnya.
Tak hanya di Eropa, di Malaysia, Singapura, hingga Brunei Darusallam jumlah dana yang dialokasikan pemerintah di sana pun sangat fantastis dibandingkan di negara kita yang kaya ini. Ketika Malaysia gegap mengusung pendidikan berkualitas dan murah dengan berbekal tak kurang dari 18% alokasi anggaran dana di negara tersebut. Yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, pendidikan mahal ditambah rendahnya kualitas sistem yang ada di negara ini.
Kondisi tersebut tentu berkontribusi negatif terhadap perkembangan bangsa ini ke depan. Kita sadari atau tidak, ketika ongkos untuk menempuh pendidikan semakin mahal, ditambah tingginya harga untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, orientasi massa untuk menempuh pendidikan menjadi tak lagi murni seperti esensi awal munculnya pendidikan.
Kita banyak mendengar di media massa, kasus-kasus pemalsuan ijazah yang dilakukan mulai dari pegawai tingkat rendahan hingga pejabat-pejabat di jajaran elit negara. Fenomena yang terjadi saat ini, seseorang menempuh pendidikan bukan untuk perkembangan pola pikir dan dimensi wawasan intelektual mereka, tetapi demi meraih keuntungan material semata.
Mungkin sebagian dari pembaca, secara sadar maupun tidak, menjadi salah satu dari pihak yang turut melanggengkan kebudayaan ini. Menjadi plagiat skripsi, mencontek saat ujian, titip absen dalam perkuliahan, menjadi hal-hal yang sering kita temui di dunia mahasiswa. Mahalnya biaya pendidikan di bangku perguruan tinggi menjadi penyebab utama dari perilaku tersebut. Mereka menghalalkan segala cara agar dapat lulus sesegera mungkin. Dan, nantinya dapat cepat bekerja untuk mengganti ongkos yang telah mereka korbankan untuk membiayai pendidikan yang telah mereka tempuh.
Kini pendidikan seolah beralih fungsi. Fenomena yang berkembang di dunia ini, bahwa pendidikan tak lagi menjadi instrumen bagi perkembangan pemikiran manusia menuju hierarki yang lebih tinggi. Pendidikan telah menjadi komoditas bagi banyak manusia sebagai batu lompatan bagi mereka untuk menggapai kepentingan-kepentingan material mereka di dunia. Kini, manusia menempuh pendidikan demi jenjang karier mereka di masa depan. Alasan ekonomi menjadi kambing hitam dari terjadinya hal ini.
Pendidikan tak jarang juga dijadikan alat untuk meningkatkan gengsi mereka di mata masyarakat.
Alhasil, yang mereka dapatkan dari pendidikan yang mereka tempuh, tak lebih dari sekedar sertifikat pernyataan kelulusan mereka. Ironis.
Kesadaran masyarakat kita akan pentingnya pendidikan memang belum tinggi. Begitu pula di jajaran pemerintahan di negeri ini. Pemerintah yang seharusnya menyokong pembangunan kualitas sarana dan prasarana yang menunjang pendidikan justru menampakkan sikap acuhnya pada aspek penting masa depan negara ini.
Pemerintah tunduk ketika lembaga-lembaga donor keuangan dunia menyodori SAP yang berisikan pemangkasan subsidi bagi masyarakat, termasuk subsidi di dunia pendidikan. Subsidi bagi pendidikan bukan makin naik, justru semakin turun. Malahan, pemerintah berencana untuk lepas tangan dalam pembiayaan untuk pendidikan.
Pertumbuhan ekonomi menjadi tujuan pemerintah hingga akhirnya subsidi pendidikan dan subsidi lain, utamanya bagi rakyat miskin, terus-menerus dikurangi. Semua ini sebagai syarat untuk merangsang investor untuk menanamkan modal di negara ini. Pembangunan gedung dan fasilitas ekonomi lain terus dikembangkan, yang umumnya untuk menyuport gerak perekonomian dalam negeri.
Kebijakan pemerintah tersebut mungkin berhasil, tapi tentu saja semuanya ini akan bersifat jangka pendek. Pemerintah melupakan pendidikan, yang sejatinya dalam jangka panjang akan begitu mendukung kemajuan multi dimensi bagi negara ini.
Kesimpulannya, belum adanya kesadaran yang timbul dari masyarakat kita, utamanya kaum birokrat, akan pendidikan, menjadi cikal bakal ketidakstabilan kondisi sosio-ekonomis di negara ini. Sampai kapan kita akan diam saja membiarkan hal ini terus menggerogoti masa depan negeri ini.

Nilai Kemanusiaan Pendidikan

Majelis Hakim (PN) Jakarta Pusat memenangkan guagatan kebijakan ujian nasional (UN). Dalam outusan itu majelis hakim menyatakan bahwa pemerintah sebagai tergugat telah lalai memenuhi hak pendidikan warga negara. Tak tanggung-tanggung putusan tersebut menyatakan bahwa presiden, wapres, mendiknas, serta ketua badan Standarisasi Pendidikan Nasional sekaju tergugat telah lalai memenuhi perlindungan HAM terhadap warga negara, terutama hak-hak pendidikan yang tidak didapatkan oleh para siswa yang gagal menempuh UN.
Kondiksi tersebut mebuktikan bahwa ternyata ada ketimpangan dan ketidakberesan pada proses UN yg selama ini berlangsung. Ketidakberesan UN justru dipaksakan oleh pemerintah. Akibatnya siswa menjadi korban. Tak hanya itu UN ternyata tidak menjadikan mutu pendidikan lebih baik. Bahkan UN telah menjadi “kepanikan nasional” yang berefek pada penurunan standar dan mutu lulusan..

Memang salah satu problem bangsa yg menghiasi kehidupan di negeri ini adalah pendidikan. Entah mengapa sistem pendidikan di negeri ini selalu menemukan ganjalan. Dunia pendidikan kita masih menjadi “warna buram” yg menghiasi negeri ini. Padahal jika mengharap perubahan Indonesia agar menjadi lebih maju di masa depan, sesungguhnya hanya dapat dipupuk dengan perubahan pendidikan.. Perubahn oendidikan sangat urgen dilakukan karena pendidikan merupakan investasi kemanusiaan dan tempat merekayasa sumber daya manusia.
Selain itu pendidikan Indonesia tengah mengalami proses involusi dan bergerak tanpa arah yang jelas. Dari hari ke hari, manusia yang terlibat dalam pendidikan bukannya tumbuh kian cerdas, tetapi mutunya semakin menurun, meski input fasilitas fisiknya terus bertambah. Ketidakjelasan arah pendidikan itu menyebabkan pendidikan di Indonesia tidak kompetitif lagi dibandingkan dengan pencapaian negara-negaralain, bahkan di wilayah Asia Tenggara sekalipun.
Indonesia mestinya malu dengan beberapa negara seperti Jepang, Amerika, Singapura, dan beberapa negara di Eropa dan Asia lain yang memiliki kualitas pendidkan bagus secara merata. Bahkan dibandingkan dengan Malaysia saja, Indonesia sudah ketinggalan. Padahal di tahun 1970, Mlaysia masih mengimpor pegajar dari Indonesia dan masih belajar di Indonesia.
Jika kita membuka lembaran sejarah, diskriminasi pendidikan formal amat terasa di zaman penjajahan. Hanya segelintir orang tertentu (itu pun dari golongan ningrat, berduit, terpandang) yang bisa mengenyam pendidikan. Sebenarnya para perintis keerdekaan berhara melalui dunia pendidikan, anak-anak bangsa kita tidak lagi bodoh, terbelakang, mudah ditipu, fan gampang dibodohi dalam kehidupan sosial. Sasaran awal dunia pendidikan adalah peningkatan mutu intelektual dan kemuliaan pribadi bangsa. Realitas mengatakan, dunia pendidikan kita tidak hanya melahirkan kaum cerdik cendekia, tetapi turut memperpanjang deret ”pengangguran” di negeri ini. Tahun 2007, pengangguran diperkirakan mencapai 12,7 juta jiwa shg jml penduduk miskin akan mencapai 45,7 juta jiwa. Perlu diketahui bahwa krisis kemanusian mulai terjadi bila seseorang tidak mendapat pekerjaan. Akibatnya tidak sedikit di antara mereka siap terjun ke tempat-tempat yang tidak layak sebagai kaum cendekia. Lagi-lagi keprihatinan bangsa dapat dilihat pada sistem pendidikan menengah . Sejak diterapkan sistem ”ujian nasional” dan diterapkannya standar kelulusan yg hanya berpatok pada matapelajaran tertentu, mengakibatkan meledaknya jumlah siswa yang tidak lulus. Kondisi tersebut berakibat terhadap psikologis anak yang pada akhirnya stress, frustasi, dan tidak semangat melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi.
Bagaimanapun fakta tersebut adalah cermin masih carut-marut dan amburadulnya pendidikan kita. Jika ini dibiarkan, maka bukan hal yg mustahil jika bangsa ini akan semakin terpuruk. Pertanyaannya, siapa yang salah dari realtas ini? Apakah pemerinah sebagai pengambil kebijakn sudah sadar dan terbuka nuraninya melihat kondisi ini? Atau malah pura-pura tuli dan buta dan hanya mau coba-coba menerapkan sistem yang justru menjerumuskan anak didik? Jawabannya bisa kita lihat pada realitas saat ini.
Politisasi PendidikanPerlu diketahui bahwa dunia pendidikan formal kerap tak bisa dipisahkan dengan keadaan politik negara kita. Bahka dunia pendidikan sering dijadikan sebagai penunjang dan alat pencapaian politik yang mengarah kepada popularitas.
John S Brubacher, guru beasr pewndidikan dari Michigan University, mengatakan bahwa dunia pendidikan formal kini dipengaruhi oleh politik abad ke-20 yang umumnya menerapkan pentingnya pembagian kekuasaan politik. Dimensi keadilan sosial mendapat sorotan tajam sepanjang abad silam. Kita sendiri pernah mengalami sistem pemerintahan orde baru yang telah membekas pada benak kita semua. Saat itu, antara lain penerapan nilai-nilai dasar falsafah bangsa (Pancasila) dilalkukan secara paksa, hanya formalisme yang tidak memberikan pengaruh besar pada kehidupan manusia.
Usaha mengorbankan pendidikan untuk mencapai popularitas penguasa tampak juga di era reformasi. Dengan dalih demi meningkatkan kualitas pendidikan, kurikulum berganti semaunya, sistem pendidikan coba-coba dirombak walau banyak memakan korban. Asalkan pemerintah dicap “lebih maju”,”lebih populer”, walau menari di atas penderitaan rakyat.
Alhasil, dunia pendidikan formal yang hanya bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa diimbangi penanaman nilai-nilai keluhuran martabat manusia, belum memberikan sumbangan besar bagi perwujudan masyarakat adil dan makmur. Proses pendidikan kita umumnya lebih mendahulukan dimensi kognitif, sementara dimensi humaniora dilalaikan. Prestasi akademik diutamakan, pembinaan manusia sebagai pribadi luhur diabaikan.
Seharusnya, sistem pendidikan negara kita yang berlandaskan Pancasila justru menjadikan dunia pendidikan sebagai ”investasi kemanusiaan”. Nilai dasar keluhuran kemanusiaan menuju “kemulaiaan pribadi” harus menjadi acuan sistem pendidikan kita.
Sementara itu, ada delapan masalah pendidikan yang harus menjadi perhatian. Kedelapan masalah itu menyangkut kebijakan pendidikan, perkembangan anak Indonesia, guru, relevansi pendidikan, mutu pendidikan, pemerataan, manajemen pendidikan, dan pembiayaan pendidikan. Permasalahn tersebut sudah teridentifikasi dalam skala berbeda dalam Penelitian Nasional Pendidikan (PNP) pada tahun 19969,saat sekitar 100 pakar pendidikan dari seluruh Indonesia berkumpul di Cipayung. Namun, setelah lebih dari 30 tahun berlalu, perubahaan belum banyak.

Dengan demikian, pemerintah sebagai pengambil kebijakan harus segera sadar bahwa nilai kemanusiaan merupakan faktor yang harus diperhitungkan sebagai standar keberhasilan pendidikan, bukan terjebak pada standar kecerdasan yang mengabaikan nilai luhur manusia itu sendiri. Seyogianya, pendidikan di negeri ini harus segera diperbaharui demi terwujudnya masa depan bangsa yang kita idamkan bersama
(Sindo, sabtu 26 Mei 2007)