Senin, 07 Juli 2008


Nilai Kemanusiaan Pendidikan

Majelis Hakim (PN) Jakarta Pusat memenangkan guagatan kebijakan ujian nasional (UN). Dalam outusan itu majelis hakim menyatakan bahwa pemerintah sebagai tergugat telah lalai memenuhi hak pendidikan warga negara. Tak tanggung-tanggung putusan tersebut menyatakan bahwa presiden, wapres, mendiknas, serta ketua badan Standarisasi Pendidikan Nasional sekaju tergugat telah lalai memenuhi perlindungan HAM terhadap warga negara, terutama hak-hak pendidikan yang tidak didapatkan oleh para siswa yang gagal menempuh UN.
Kondiksi tersebut mebuktikan bahwa ternyata ada ketimpangan dan ketidakberesan pada proses UN yg selama ini berlangsung. Ketidakberesan UN justru dipaksakan oleh pemerintah. Akibatnya siswa menjadi korban. Tak hanya itu UN ternyata tidak menjadikan mutu pendidikan lebih baik. Bahkan UN telah menjadi “kepanikan nasional” yang berefek pada penurunan standar dan mutu lulusan..

Memang salah satu problem bangsa yg menghiasi kehidupan di negeri ini adalah pendidikan. Entah mengapa sistem pendidikan di negeri ini selalu menemukan ganjalan. Dunia pendidikan kita masih menjadi “warna buram” yg menghiasi negeri ini. Padahal jika mengharap perubahan Indonesia agar menjadi lebih maju di masa depan, sesungguhnya hanya dapat dipupuk dengan perubahan pendidikan.. Perubahn oendidikan sangat urgen dilakukan karena pendidikan merupakan investasi kemanusiaan dan tempat merekayasa sumber daya manusia.
Selain itu pendidikan Indonesia tengah mengalami proses involusi dan bergerak tanpa arah yang jelas. Dari hari ke hari, manusia yang terlibat dalam pendidikan bukannya tumbuh kian cerdas, tetapi mutunya semakin menurun, meski input fasilitas fisiknya terus bertambah. Ketidakjelasan arah pendidikan itu menyebabkan pendidikan di Indonesia tidak kompetitif lagi dibandingkan dengan pencapaian negara-negaralain, bahkan di wilayah Asia Tenggara sekalipun.
Indonesia mestinya malu dengan beberapa negara seperti Jepang, Amerika, Singapura, dan beberapa negara di Eropa dan Asia lain yang memiliki kualitas pendidkan bagus secara merata. Bahkan dibandingkan dengan Malaysia saja, Indonesia sudah ketinggalan. Padahal di tahun 1970, Mlaysia masih mengimpor pegajar dari Indonesia dan masih belajar di Indonesia.
Jika kita membuka lembaran sejarah, diskriminasi pendidikan formal amat terasa di zaman penjajahan. Hanya segelintir orang tertentu (itu pun dari golongan ningrat, berduit, terpandang) yang bisa mengenyam pendidikan. Sebenarnya para perintis keerdekaan berhara melalui dunia pendidikan, anak-anak bangsa kita tidak lagi bodoh, terbelakang, mudah ditipu, fan gampang dibodohi dalam kehidupan sosial. Sasaran awal dunia pendidikan adalah peningkatan mutu intelektual dan kemuliaan pribadi bangsa. Realitas mengatakan, dunia pendidikan kita tidak hanya melahirkan kaum cerdik cendekia, tetapi turut memperpanjang deret ”pengangguran” di negeri ini. Tahun 2007, pengangguran diperkirakan mencapai 12,7 juta jiwa shg jml penduduk miskin akan mencapai 45,7 juta jiwa. Perlu diketahui bahwa krisis kemanusian mulai terjadi bila seseorang tidak mendapat pekerjaan. Akibatnya tidak sedikit di antara mereka siap terjun ke tempat-tempat yang tidak layak sebagai kaum cendekia. Lagi-lagi keprihatinan bangsa dapat dilihat pada sistem pendidikan menengah . Sejak diterapkan sistem ”ujian nasional” dan diterapkannya standar kelulusan yg hanya berpatok pada matapelajaran tertentu, mengakibatkan meledaknya jumlah siswa yang tidak lulus. Kondisi tersebut berakibat terhadap psikologis anak yang pada akhirnya stress, frustasi, dan tidak semangat melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi.
Bagaimanapun fakta tersebut adalah cermin masih carut-marut dan amburadulnya pendidikan kita. Jika ini dibiarkan, maka bukan hal yg mustahil jika bangsa ini akan semakin terpuruk. Pertanyaannya, siapa yang salah dari realtas ini? Apakah pemerinah sebagai pengambil kebijakn sudah sadar dan terbuka nuraninya melihat kondisi ini? Atau malah pura-pura tuli dan buta dan hanya mau coba-coba menerapkan sistem yang justru menjerumuskan anak didik? Jawabannya bisa kita lihat pada realitas saat ini.
Politisasi PendidikanPerlu diketahui bahwa dunia pendidikan formal kerap tak bisa dipisahkan dengan keadaan politik negara kita. Bahka dunia pendidikan sering dijadikan sebagai penunjang dan alat pencapaian politik yang mengarah kepada popularitas.
John S Brubacher, guru beasr pewndidikan dari Michigan University, mengatakan bahwa dunia pendidikan formal kini dipengaruhi oleh politik abad ke-20 yang umumnya menerapkan pentingnya pembagian kekuasaan politik. Dimensi keadilan sosial mendapat sorotan tajam sepanjang abad silam. Kita sendiri pernah mengalami sistem pemerintahan orde baru yang telah membekas pada benak kita semua. Saat itu, antara lain penerapan nilai-nilai dasar falsafah bangsa (Pancasila) dilalkukan secara paksa, hanya formalisme yang tidak memberikan pengaruh besar pada kehidupan manusia.
Usaha mengorbankan pendidikan untuk mencapai popularitas penguasa tampak juga di era reformasi. Dengan dalih demi meningkatkan kualitas pendidikan, kurikulum berganti semaunya, sistem pendidikan coba-coba dirombak walau banyak memakan korban. Asalkan pemerintah dicap “lebih maju”,”lebih populer”, walau menari di atas penderitaan rakyat.
Alhasil, dunia pendidikan formal yang hanya bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa diimbangi penanaman nilai-nilai keluhuran martabat manusia, belum memberikan sumbangan besar bagi perwujudan masyarakat adil dan makmur. Proses pendidikan kita umumnya lebih mendahulukan dimensi kognitif, sementara dimensi humaniora dilalaikan. Prestasi akademik diutamakan, pembinaan manusia sebagai pribadi luhur diabaikan.
Seharusnya, sistem pendidikan negara kita yang berlandaskan Pancasila justru menjadikan dunia pendidikan sebagai ”investasi kemanusiaan”. Nilai dasar keluhuran kemanusiaan menuju “kemulaiaan pribadi” harus menjadi acuan sistem pendidikan kita.
Sementara itu, ada delapan masalah pendidikan yang harus menjadi perhatian. Kedelapan masalah itu menyangkut kebijakan pendidikan, perkembangan anak Indonesia, guru, relevansi pendidikan, mutu pendidikan, pemerataan, manajemen pendidikan, dan pembiayaan pendidikan. Permasalahn tersebut sudah teridentifikasi dalam skala berbeda dalam Penelitian Nasional Pendidikan (PNP) pada tahun 19969,saat sekitar 100 pakar pendidikan dari seluruh Indonesia berkumpul di Cipayung. Namun, setelah lebih dari 30 tahun berlalu, perubahaan belum banyak.

Dengan demikian, pemerintah sebagai pengambil kebijakan harus segera sadar bahwa nilai kemanusiaan merupakan faktor yang harus diperhitungkan sebagai standar keberhasilan pendidikan, bukan terjebak pada standar kecerdasan yang mengabaikan nilai luhur manusia itu sendiri. Seyogianya, pendidikan di negeri ini harus segera diperbaharui demi terwujudnya masa depan bangsa yang kita idamkan bersama
(Sindo, sabtu 26 Mei 2007)

Tidak ada komentar: