Senin, 07 Juli 2008

Nilai Etika & Estetika

PERGESERAN paradigma pendidikan tak semuanya membawa keuntungan. Selalu ada kelemahan, selalu ada celah kekurangan. Semula kita menganut paham bahwa pendidikan untuk membentuk karakter budi pekerti anak didik, namun pada gilirannya kemudian kita menganut paham pendidikan untuk melakukan transfer pengetahuan pada siswa. Kini kita sepaham, pendidikan diarahkan demi pemberdayaan siswa. Akan tetapi, mengapa kekerasan dan dehumanisasi justru kian mengeras, merasuki kehidupan geng remaja yang terselubung organisasi? Bersamaan dengan gairah mencapai mutu pendidikan, kita mengadopsi Total Quality Management, yang dicangkok dari dunia industri. Kesalahan itu terjadi ketika kita menjadi pragmatis, bahkan sangat pragmatis, untuk mencapai mutu pendidikan yang mengutamakan kepuasan ”pelanggan” (siswa, orang tua siswa, dan masyarakat).Siswa dinyatakan lulus dan berprestasi dengan standar angkaangka UN. Siswa melanjutkan pendidikan ditentukan pula dengan angkaangka UN dan kemampuan menanggung biaya pendidikan.
Tak ada lagi pembinaan budi pekerti. Tak ada lagi pembinaan moralitas. Tak ada lagi religiusitas. Lenyap sudah eksistensi para siswa sebagai manusia berbudaya. Bahkan, penalaran, sikap kritis, humanisme, lenyap dibentak ke bawah telapak kaki. Terjadilah kejutan-kejutan penyimpangan yang dilakukan kaum terdidik, di antaranya kekerasan geng yang dilakukan para siswa. Betapa tak berdaya moralitas guru, orang tua, dan masyarakat.
***Kekerasan yang dilakukan kaum terdidik terhadap yuniornya demi tuntutan eksistensialisme remaja, menandai krisis jati diri dan moralitas, terselubung mata rantai geng yang merasuk antargenerasi. Ini buah kegagalan pendidikan keluarga dan masyarakat, yang mencorengkan aib di lingkungan sekolah. Apalagi kini dunia pendidikan kita telah terjebak pada paham pragmatisme itu ketika mengutamakan hasil (angka UN) yang diraih dengan jalan pintas (drill), dan bukan pemberdayaan nilai-nilai dan pengetahuan dalam penerapan kehidupan sehari-hari untuk menghadapi arus kuat goncangan kebudayaan di masa sekarang dan yang akan datang. Memang banyak hal yang dianjurkan Total Quality Management (TQM) dalam pendidikan yang tak berbasis pragmatisme. Banyak di antara prinsip TQM selaras dengan kehendak kita melakukan pemberdayaan para siswa. Prinsip kaizen adalah perbaikan sedikit demi sedikit (step by step improvement), membangun kesuksesan dan kepercayaan diri siswa dan mengembangkan dasar peningkatan selanjutnya.
Prinsip kaizen ini diinggkari dunia pendidikan kita. Tergoda kita untuk melakukan lompatan-lompatan besar, melupakan perkembangan proses demi proses. Kita lebih suka perubahan berskala besar yang pragmatis: penerapan kurikulum baru, memacu pembelajaran berskala global (imersi), membuka kelas akselerasi, dan pengadaan sarana-prasarana yang dibebankan para orangtua siswa melalui sumbangan pengembangan institusi (SPI). Keunggulan kaum terdidik diarahkan pada pencapaian angka-angka kelulusan UN. Begitu mudah kita mengidentifikasi kesuksesan pendidikan dengan angka-angka UN. Bukan dengan perubahan kultur. Bukan dengan religiuasitas. Bukan dengan humanisme. Bukan dengan budi pekerti. Estetika dan etika telah jauh dicampakkan di bawah telapak kaki para siswa. Penganiayaan senior terhadap yuniornya dalam geng-geng remaja belakangan ini menampakkan betapa para siswa tidak memiliki kebajikan. Bahkan, mungkin, mengalami kepribadian terbelah (split personality), yang menampakkan kealiman di sekolah, tetapi melakukan kekerasan di gengnya untuk menemukan krisis eksistensial.
Penyimpangan terhadap kebanggaan identitas diri yang menyeret para siswa melakukan kekerasan dan militerisme, demi ”ketangguhan”, menampakkan kebanggaan semu. Mengapa sekolah-skeolah kita tidak menyempurnakan proses pendidikan sebagai charakter building, dan bukan sekadar transfer of knowledge? Sekolah-sekolah kita, dalam siasat mencapai kelulusan UN dengan angka yang tinggi, melakukan drill yang jauh lebih buruk dari proses transfer of knoowledge. Tidakkah kita terketuk untuk memulai kembali pendidikan dengan semangat kecintaan, saling menghormati, saling menyayangi, dan saling asah-asuh? Tidakkah kita ingin mengembalikan pendidikan sebagai proses pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan nilai-nilai?
Sudah mendesak, bagi kita sekarang, untuk melakukan pendidikan karakter melalui estetika (sastra, seni) dan etika (akhlak, moral, budi pekerti). Jadikan kedua unsur ini sebagai kriteria kenaikan kelas atau kelulusan. Atau, kalau memang kita ingin melakukan pendidikan karakter, belum terlambat untuk mematok kriteria kelulusan UN dengan estetika, etika, dan logika. Jelas, untuk melakukan penilaian ini, guru yang bersangkutanlah yang memiliki peran, karena memahami perkembangan siswa secara langsung. Bukan negara yang merampas hak untuk menguji dan meluluskan siswa. Mestinya guru menjadi model dan teladan bagi pembentukan pendidikan karakter. Para siswa yang unggul dalam estetika dan etika, mendapat penghargaan dan menjadi teladan bagai siswa yang lain. Selama ini kita selalu memuja pada prestasi sains, dan mengabaikan pencapaian-pencapaian prestasi estetika dan etika. Segala upaya untuk mencapai prestasi sains selalu dianggap sebagai unggulan, sementara estetika dan etika dicampakkan.
***Atmosfer pendidikan karakter yang merasuk dalam keseharian interaksi guru-siswa, tentu akan membalikkan krisis pekerti dan spiritualisme. Pragmatisme yang diterapkan para manajer pendidikan, sekilas memang mencapai prestasi sebagaimana yang diharapkan pemerintah, tetapi sungguh akan merusak karakter bangsa. Kita membentuk karakter manusia yang menyukai jalan pintas, keuntungan - keuntungan yang bersifat sementara, tanpa peduli dengan penderitaan orang lain. Terjadilah dehumanisasi kaum terdidik. Sebagaimana Sokrates, mestinya guru membela ajaran ”yang benar” dan ”yang baik” sebagai nilai-nilai objektif yang harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua orang. Jangan dibiarkan anak didik mengembangkan pengalaman - pengalamannya sendiri yang menyimpang adri etika dan humanisme. Jadikanlah sekolah sebagai proses pembudayaan (enkulturisasi) peserta didik. Dengan demikian, mereka menjadi manusia yang memiliki keadaban (civility) yang mengembangkan kecerdasan sosial, spiritual dan moral. Kekuatan pembelajaran etika dan estetika akan mengembalikan para siswa menjadi manusia yang memiliki nilai humanisme dan cita rasa keindahan, yang biasanya dekat dengan pencerahan jiwa. Ini mencegah kebrutalan. Menjauhkan para siswa dari perilaku sadis dan meretas ikatan-ikatan jaringan geng yang terselubung dalam dunia pendidikan. hf
S Prasetyo Utomo Dosen IKIP PGRI Semarang, mahasiswa pascasarjana program Magister Manajemen Pendidikan UMS
Pendidikan bagi Masa Depan

Pendidikan. Yup, tentu tak sedikit dari kita yang telah banyak mengenyam asam cuka di dunia pendidikan. Tapi, banyakkah dari kita yang telah sadar akan esensi dari pendidikan yang telah lama kita lalui tadi?
Pendidikan, awalnya timbul dari kegelisahan umat manusia akan pentingnya proses belajar dan diajar. Rasa ingin tahu yang memenuhi benak tiap orang lantas dilimpahruahkan pada pendidikan. Sebagai makhluk rasional, manusia membutuhkan banyak asupan gizi berupa ilmu pengetahuan. Dan, disinilah arti penting pendidikan bagi manusia.
Kebutuhan manusia akan pendidikan bermula dari dini usia mereka. Pendidikan sejatinya adalah suatu proses transisi atas perkembangan pemikiran dan wawasan intelektual bagi manusia. Kemudian, manusia membentuk institusi demi menaungi hasrat belajar-mengajar yang timbul di benak mereka tadi. Institusi tersebut pun beragam, mulai dari lingkup keluarga dengan ayah dan ibu yang menyokong anak-anak mereka dengan pendidikan secara dasar. Kemudian institusi keagamaan yang konon sebagai pilar penopang jalan hidup umat manusia untuk senantiasa berada pada jalur pendidikan, pula sebagai operator bagi causa prima yang membuncah dari tiap otak manusia. Siapakah aku? Dari manakah aku berasal?
Kemudian institusi yang mungkin bersifat formal dikembangkan. pula lebih kompleks mulai dari kurikulum serta basis material lain yang ada di dalamnya. Di antaranya, mulai dari sekolah dasar hingga ke bangku perguruan tinggi.
Perkembangan basis material dari pendidikan formal terus berkembang seiring berlalunya waktu. Tak kurang dukungan dari pemerintah bagi dunia pendidikan. Para kaum teknokrat pun diturunkan guna menyusun konsep-konsep dasar bagi pendidikan. Pemerintah tentu sadar betapa keberhasilan suatu negara berkorelasi positif dengan kualitas sumber daya manusia yang mereka miliki.
Di banyak negara, terutama di negara-negara utara, tak sedikit nominal dana yang dikucurkan pemerintahan di masing-masing negara tersebut pada sektor pendidikan. Di Jerman tiap penduduk berhak untuk menikmati pendidikan gratis yang disediakan pemerintah di negara tersebut. Bahkan, pemerintah Jerman memberi subsidi bagi para pelajar di sana. Fenomena yang terjadi di Jerman juga dapat kita lihat di Luxemburg, Swedia, dan negara-negara di benua Eropa lainnya.
Tak hanya di Eropa, di Malaysia, Singapura, hingga Brunei Darusallam jumlah dana yang dialokasikan pemerintah di sana pun sangat fantastis dibandingkan di negara kita yang kaya ini. Ketika Malaysia gegap mengusung pendidikan berkualitas dan murah dengan berbekal tak kurang dari 18% alokasi anggaran dana di negara tersebut. Yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, pendidikan mahal ditambah rendahnya kualitas sistem yang ada di negara ini.
Kondisi tersebut tentu berkontribusi negatif terhadap perkembangan bangsa ini ke depan. Kita sadari atau tidak, ketika ongkos untuk menempuh pendidikan semakin mahal, ditambah tingginya harga untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, orientasi massa untuk menempuh pendidikan menjadi tak lagi murni seperti esensi awal munculnya pendidikan.
Kita banyak mendengar di media massa, kasus-kasus pemalsuan ijazah yang dilakukan mulai dari pegawai tingkat rendahan hingga pejabat-pejabat di jajaran elit negara. Fenomena yang terjadi saat ini, seseorang menempuh pendidikan bukan untuk perkembangan pola pikir dan dimensi wawasan intelektual mereka, tetapi demi meraih keuntungan material semata.
Mungkin sebagian dari pembaca, secara sadar maupun tidak, menjadi salah satu dari pihak yang turut melanggengkan kebudayaan ini. Menjadi plagiat skripsi, mencontek saat ujian, titip absen dalam perkuliahan, menjadi hal-hal yang sering kita temui di dunia mahasiswa. Mahalnya biaya pendidikan di bangku perguruan tinggi menjadi penyebab utama dari perilaku tersebut. Mereka menghalalkan segala cara agar dapat lulus sesegera mungkin. Dan, nantinya dapat cepat bekerja untuk mengganti ongkos yang telah mereka korbankan untuk membiayai pendidikan yang telah mereka tempuh.
Kini pendidikan seolah beralih fungsi. Fenomena yang berkembang di dunia ini, bahwa pendidikan tak lagi menjadi instrumen bagi perkembangan pemikiran manusia menuju hierarki yang lebih tinggi. Pendidikan telah menjadi komoditas bagi banyak manusia sebagai batu lompatan bagi mereka untuk menggapai kepentingan-kepentingan material mereka di dunia. Kini, manusia menempuh pendidikan demi jenjang karier mereka di masa depan. Alasan ekonomi menjadi kambing hitam dari terjadinya hal ini.
Pendidikan tak jarang juga dijadikan alat untuk meningkatkan gengsi mereka di mata masyarakat.
Alhasil, yang mereka dapatkan dari pendidikan yang mereka tempuh, tak lebih dari sekedar sertifikat pernyataan kelulusan mereka. Ironis.
Kesadaran masyarakat kita akan pentingnya pendidikan memang belum tinggi. Begitu pula di jajaran pemerintahan di negeri ini. Pemerintah yang seharusnya menyokong pembangunan kualitas sarana dan prasarana yang menunjang pendidikan justru menampakkan sikap acuhnya pada aspek penting masa depan negara ini.
Pemerintah tunduk ketika lembaga-lembaga donor keuangan dunia menyodori SAP yang berisikan pemangkasan subsidi bagi masyarakat, termasuk subsidi di dunia pendidikan. Subsidi bagi pendidikan bukan makin naik, justru semakin turun. Malahan, pemerintah berencana untuk lepas tangan dalam pembiayaan untuk pendidikan.
Pertumbuhan ekonomi menjadi tujuan pemerintah hingga akhirnya subsidi pendidikan dan subsidi lain, utamanya bagi rakyat miskin, terus-menerus dikurangi. Semua ini sebagai syarat untuk merangsang investor untuk menanamkan modal di negara ini. Pembangunan gedung dan fasilitas ekonomi lain terus dikembangkan, yang umumnya untuk menyuport gerak perekonomian dalam negeri.
Kebijakan pemerintah tersebut mungkin berhasil, tapi tentu saja semuanya ini akan bersifat jangka pendek. Pemerintah melupakan pendidikan, yang sejatinya dalam jangka panjang akan begitu mendukung kemajuan multi dimensi bagi negara ini.
Kesimpulannya, belum adanya kesadaran yang timbul dari masyarakat kita, utamanya kaum birokrat, akan pendidikan, menjadi cikal bakal ketidakstabilan kondisi sosio-ekonomis di negara ini. Sampai kapan kita akan diam saja membiarkan hal ini terus menggerogoti masa depan negeri ini.

Nilai Kemanusiaan Pendidikan

Majelis Hakim (PN) Jakarta Pusat memenangkan guagatan kebijakan ujian nasional (UN). Dalam outusan itu majelis hakim menyatakan bahwa pemerintah sebagai tergugat telah lalai memenuhi hak pendidikan warga negara. Tak tanggung-tanggung putusan tersebut menyatakan bahwa presiden, wapres, mendiknas, serta ketua badan Standarisasi Pendidikan Nasional sekaju tergugat telah lalai memenuhi perlindungan HAM terhadap warga negara, terutama hak-hak pendidikan yang tidak didapatkan oleh para siswa yang gagal menempuh UN.
Kondiksi tersebut mebuktikan bahwa ternyata ada ketimpangan dan ketidakberesan pada proses UN yg selama ini berlangsung. Ketidakberesan UN justru dipaksakan oleh pemerintah. Akibatnya siswa menjadi korban. Tak hanya itu UN ternyata tidak menjadikan mutu pendidikan lebih baik. Bahkan UN telah menjadi “kepanikan nasional” yang berefek pada penurunan standar dan mutu lulusan..

Memang salah satu problem bangsa yg menghiasi kehidupan di negeri ini adalah pendidikan. Entah mengapa sistem pendidikan di negeri ini selalu menemukan ganjalan. Dunia pendidikan kita masih menjadi “warna buram” yg menghiasi negeri ini. Padahal jika mengharap perubahan Indonesia agar menjadi lebih maju di masa depan, sesungguhnya hanya dapat dipupuk dengan perubahan pendidikan.. Perubahn oendidikan sangat urgen dilakukan karena pendidikan merupakan investasi kemanusiaan dan tempat merekayasa sumber daya manusia.
Selain itu pendidikan Indonesia tengah mengalami proses involusi dan bergerak tanpa arah yang jelas. Dari hari ke hari, manusia yang terlibat dalam pendidikan bukannya tumbuh kian cerdas, tetapi mutunya semakin menurun, meski input fasilitas fisiknya terus bertambah. Ketidakjelasan arah pendidikan itu menyebabkan pendidikan di Indonesia tidak kompetitif lagi dibandingkan dengan pencapaian negara-negaralain, bahkan di wilayah Asia Tenggara sekalipun.
Indonesia mestinya malu dengan beberapa negara seperti Jepang, Amerika, Singapura, dan beberapa negara di Eropa dan Asia lain yang memiliki kualitas pendidkan bagus secara merata. Bahkan dibandingkan dengan Malaysia saja, Indonesia sudah ketinggalan. Padahal di tahun 1970, Mlaysia masih mengimpor pegajar dari Indonesia dan masih belajar di Indonesia.
Jika kita membuka lembaran sejarah, diskriminasi pendidikan formal amat terasa di zaman penjajahan. Hanya segelintir orang tertentu (itu pun dari golongan ningrat, berduit, terpandang) yang bisa mengenyam pendidikan. Sebenarnya para perintis keerdekaan berhara melalui dunia pendidikan, anak-anak bangsa kita tidak lagi bodoh, terbelakang, mudah ditipu, fan gampang dibodohi dalam kehidupan sosial. Sasaran awal dunia pendidikan adalah peningkatan mutu intelektual dan kemuliaan pribadi bangsa. Realitas mengatakan, dunia pendidikan kita tidak hanya melahirkan kaum cerdik cendekia, tetapi turut memperpanjang deret ”pengangguran” di negeri ini. Tahun 2007, pengangguran diperkirakan mencapai 12,7 juta jiwa shg jml penduduk miskin akan mencapai 45,7 juta jiwa. Perlu diketahui bahwa krisis kemanusian mulai terjadi bila seseorang tidak mendapat pekerjaan. Akibatnya tidak sedikit di antara mereka siap terjun ke tempat-tempat yang tidak layak sebagai kaum cendekia. Lagi-lagi keprihatinan bangsa dapat dilihat pada sistem pendidikan menengah . Sejak diterapkan sistem ”ujian nasional” dan diterapkannya standar kelulusan yg hanya berpatok pada matapelajaran tertentu, mengakibatkan meledaknya jumlah siswa yang tidak lulus. Kondisi tersebut berakibat terhadap psikologis anak yang pada akhirnya stress, frustasi, dan tidak semangat melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi.
Bagaimanapun fakta tersebut adalah cermin masih carut-marut dan amburadulnya pendidikan kita. Jika ini dibiarkan, maka bukan hal yg mustahil jika bangsa ini akan semakin terpuruk. Pertanyaannya, siapa yang salah dari realtas ini? Apakah pemerinah sebagai pengambil kebijakn sudah sadar dan terbuka nuraninya melihat kondisi ini? Atau malah pura-pura tuli dan buta dan hanya mau coba-coba menerapkan sistem yang justru menjerumuskan anak didik? Jawabannya bisa kita lihat pada realitas saat ini.
Politisasi PendidikanPerlu diketahui bahwa dunia pendidikan formal kerap tak bisa dipisahkan dengan keadaan politik negara kita. Bahka dunia pendidikan sering dijadikan sebagai penunjang dan alat pencapaian politik yang mengarah kepada popularitas.
John S Brubacher, guru beasr pewndidikan dari Michigan University, mengatakan bahwa dunia pendidikan formal kini dipengaruhi oleh politik abad ke-20 yang umumnya menerapkan pentingnya pembagian kekuasaan politik. Dimensi keadilan sosial mendapat sorotan tajam sepanjang abad silam. Kita sendiri pernah mengalami sistem pemerintahan orde baru yang telah membekas pada benak kita semua. Saat itu, antara lain penerapan nilai-nilai dasar falsafah bangsa (Pancasila) dilalkukan secara paksa, hanya formalisme yang tidak memberikan pengaruh besar pada kehidupan manusia.
Usaha mengorbankan pendidikan untuk mencapai popularitas penguasa tampak juga di era reformasi. Dengan dalih demi meningkatkan kualitas pendidikan, kurikulum berganti semaunya, sistem pendidikan coba-coba dirombak walau banyak memakan korban. Asalkan pemerintah dicap “lebih maju”,”lebih populer”, walau menari di atas penderitaan rakyat.
Alhasil, dunia pendidikan formal yang hanya bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa diimbangi penanaman nilai-nilai keluhuran martabat manusia, belum memberikan sumbangan besar bagi perwujudan masyarakat adil dan makmur. Proses pendidikan kita umumnya lebih mendahulukan dimensi kognitif, sementara dimensi humaniora dilalaikan. Prestasi akademik diutamakan, pembinaan manusia sebagai pribadi luhur diabaikan.
Seharusnya, sistem pendidikan negara kita yang berlandaskan Pancasila justru menjadikan dunia pendidikan sebagai ”investasi kemanusiaan”. Nilai dasar keluhuran kemanusiaan menuju “kemulaiaan pribadi” harus menjadi acuan sistem pendidikan kita.
Sementara itu, ada delapan masalah pendidikan yang harus menjadi perhatian. Kedelapan masalah itu menyangkut kebijakan pendidikan, perkembangan anak Indonesia, guru, relevansi pendidikan, mutu pendidikan, pemerataan, manajemen pendidikan, dan pembiayaan pendidikan. Permasalahn tersebut sudah teridentifikasi dalam skala berbeda dalam Penelitian Nasional Pendidikan (PNP) pada tahun 19969,saat sekitar 100 pakar pendidikan dari seluruh Indonesia berkumpul di Cipayung. Namun, setelah lebih dari 30 tahun berlalu, perubahaan belum banyak.

Dengan demikian, pemerintah sebagai pengambil kebijakan harus segera sadar bahwa nilai kemanusiaan merupakan faktor yang harus diperhitungkan sebagai standar keberhasilan pendidikan, bukan terjebak pada standar kecerdasan yang mengabaikan nilai luhur manusia itu sendiri. Seyogianya, pendidikan di negeri ini harus segera diperbaharui demi terwujudnya masa depan bangsa yang kita idamkan bersama
(Sindo, sabtu 26 Mei 2007)

Kamis, 26 Juni 2008

Pendidikan Indonesia

Guru, elemen yang terlupakan

Pendidikan Indonesia selalu gembar-gembor tentang kurikulum baru...yang katanya lebih oke lah, lebih tepat sasaran, lebih kebarat-baratan...atau apapun. Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis dengan mengujicobakan formula pendidikan baru dengan mengubah kurikulum.

Di balik perubahan kurikulum yang terus-menerus, yang kadang kita gak ngeh apa maksudnya, ada elemen yang benar-benar terlupakan...Yaitu guru! Ya, guru di Indonesia hanya 60% yang layak mengajar...sisanya, masih perlu pembenahan. Kenapa hal itu terjadi? Tak lain tak bukan karena kurang pelatihan skill, kurangnya pembinaan terhadap kurikulum baru, dan kurangnya gaji. Masih banyak guru honorer yang kembang kempis ngurusin asap dapur rumahnya agar terus menyala.

Guru, digugu dan ditiru....Masihkah? atau hanya slogan klise yang sudah kuno. Murid saja sedikit yang menghargai gurunya...sedemikian juga pemerintah. banyak yang memandang rendah terhadap guru, sehingga orang pun tidak termotivasi menjadi guru. Padahal, tanpa sosok Oemar Bakri ini, tak bakal ada yang namanya Habibi.


Gelar....Mabuknya Pendidikan

Sekali lagi, Indonesia dihadapkan pada kasus yang mencoreng nama pendidikan. Kasus jual beli gelar yang dipraktekkan oleh IMGI. Cara memperoleh gelar ini sangatlah mudah, Anda tinggal menyetor 10-25 juta, dan Anda dapat gelar yang Anda inginkan..Tinggal pilih...apakah S1, S2, atau S3....benar-benar edan! Sebagian orang mabuk kepayang akan nilai gelar yang memabukkan. Dan tidak tanggung-tanggung yang pernah membeli gelar dari IMGI ini...sekitar 5000 orang.

Ini adalah protet buram masyarakat Indonesia yang memuja gelar melampaui batas. Dengan titel, seakan-akan masa depan lebih mudah. Padahal, nasib ditentukan oleh kerja keras...dan sebagian masyarakat Indonesia mencari jalan pintas. Tak heran, jika kasus wakil rakyat yang melakukan jual beli gelar agar kelihatan mentereng menyeruak di mana-mana. Dan dengan kepala kosong, mereka mencoba mengkonsepsikan pemerintahan Indonesia. Apa yang terjadi? Undang-undang sekedar lobi-lobi politik dimana semuanya UUD (ujung-ujungnya duit).

Tidakkah kita semua miris lihat kenyataan ini? Lalu apa gunanya gelar kalau ternyata dia hanya kedok belaka?


Hakikat Pendidikan

Apa sih hakikat pendidikan? Apakah tujuan yang hendak dicapai oleh institusi pendidikan?

Agak miris lihat kondisi saat ini. Institusi pendidikan tidak ubahnya seperi pencetak mesin ijazah. Agar laku, sebagian memberikan iming-iming : lulus cepat, status disetarakan, dapat ijazah, absen longgar, dsb. Apa yang bisa diharapkan dari pendidikan kering idealisme seperti itu. Ki hajar dewantoro mungkin bakal menangis lihat kondisi pendidikan saat ini. Bukan lagi bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa (seperti yang masih tertulis di UUD 43, bah!), tapi lebih mirip mesin usang yang mengeluarkan produk yang sulit diandalkan kualitasnya.

Pendidikan lebih diarahkan pada menyiapkan tenaga kerja "buruh" saat ini. Bukan lagi pemikir-pemikir handal yang siap menganalisa kondisi. Karena pola pikir "buruh" lah, segala macam hapalan dijejalkan kepada anak murid. Dan semuanya hanya demi satu kata : IJAZAH! ya, ijazah, ijazah, ijazah yang diperlukan untuk mencari pekerjaan. Sangat minim idealisme untuk mengubah kondisi bangsa yang morat-marit ini, sangat minim untuk mengajarkan filosofi kehidupan, dan sangat minim pula dalam mengajarkan moral.

Apa sebaiknya hakikat pendidikan? saya setuju dengan kata mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi, ini masih harus diterjemahkan lagi dalam tataran strategis/taktis. kata mencerdsakan kehidupan bangsa mempunyai 3 komponen arti yang sangat penting : (1) cerdas (2) hidup (3) bangsa.

(1) tentang cerdas
Cerdas itu berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan real. Cerdas bukan berarti hapal seluruh mata pelajaran, tapi kemudian terbengong-bengong saat harus menciptakan solusi bagi kehidupan nyata. Cerdas bermakna kreatif dan inovatif. Cerdas berarti siap mengaplikasikan ilmunya.

(2) tentang hidup
Hidup itu adalah rahmat yang diberikan oleh Allah sekaligus ujian dari-Nya. Hidup itu memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang terbaik untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi bahwa suatu hari kita akan mati, dan segala amalan kita akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Patut dijadikan catatan, bahwa jasad yang hidup belum tentu memiliki ruh yang hidup. Bisa jadi, seseorang masih hidup tapi nurani kehidupannya sudah mati saat dengan snatainya dia menganiaya orang lain, melakukan tindak korupsi, bahkan saat dia membuang sampah sembarangan. Filosofi hidup ini sangat sarat akan makna individualisme yang artinya mengangkat kehidupan seseorang, memanusiakan seorang manusia, memberikannya makanan kehidupan berupa semangat, nilai moral dan tujuan hidup.

(3) tentang bangsa
Manusia selain sesosok individu, dia juga adalah makhluk sosial. Dia adalah komponen penting dari suatu organisme masyarakat. Sosok individu yang agung, tapi tidak mau menyumbangkan apa-apa apa-apa bagi masyarakatnya, bukanlah yang diajarkan agama maupun pendidikan. Setiap individu punya kewajiban untuk menyebarkan pengetahuannya kepada masyarakat, berusaha meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitarnya, dan juga berperan aktif dalam dinamika masyarakat. Siapakah masyarakat yang dimaksud disini? Saya setuju bahwa masyarakat yang dimaksud adalah identitas bangsa yang menjadi ciri suatu masyarakat. Era globalisasi memang mengaburkan nilai-nilai kebangsaan, karena segala sesuatunya terasa dekat. Saat terjadi perang Irak misalnya, seakan-akan kita bisa melihat Irak di dalam rumah. Tapi masalahnya, apakah kita mampu berperan aktif secara nyata untuk Irak (selain dengan doa ataupun aksi)? Peran aktif kita dituntut untuk masyarakat sekitar...dan siapakah masyarakat sekitar? tidak lain adalah individu sebangsa.

inilah sekelumit tulisan yang saya jadikan pokok pemikiran buat apa itu hakikat pendidikan sebenarnya.

Sekolah Global di Desa Kecil Kalibening

FINA Af'idatussofa (14) bukan siswa sekolah internasional dan bukan anak orang berada. Ia lahir sebagai anak petani di Desa Kalibening, tiga kilometer perjalanan arah selatan dari kota Salatiga menuju Kedungombo, Jawa Tengah. Karena orangtuanya tidak mampu, ia terpaksa melanjutkan sekolah di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah di desanya. Namun, dalam soal kemampuan Fina boleh dipertandingkan dengan siswa sekolah-sekolah mahal yang kini menjamur di Jakarta.

MESKI bersekolah di desa dan menumpang di rumah kepala sekolahnya, bagi Fina internet bukan hal yang asing. Ia bisa mengakses internet kapan saja. Setiap pagi berlatih bahasa Inggris dalam English Morning. Ia pernah menjuarai penulisan artikel on line di kotanya. Ia juga berbakat dalam olah vokal meski ia mengatakan tidak ingin menjadi seorang penyanyi.

"Kalau menjadi penyanyi, pekerjaanku hanya menyanyi. Padahal, cita-citaku banyak. Aku ingin jadi presenter, aku ingin jadi penulis, pengarang lagu, ilmuwan, dan banyak lagi? Aku juga ingin berkeliling dunia," kata Fina.

SMP Alternatif Qaryah Thayyibah resmi terdaftar sebagai SMP Terbuka, sekolah yang sering diasosiasikan sebagai sekolah untuk menampung orang-orang miskin agar bisa mengikuti program wajib belajar sembilan tahun. Namun, siswa SMP Alternatif Qaryah Thayyibah sangat mencintai dan bangga dengan sekolahnya.

Pukul 06.00 sekolah sudah mulai dan baru berakhir pada pukul 13.30. Akan tetapi, jam sekolah itu terasa sangat pendek bagi murid-murid sekolah tersebut sehingga setelah makan siang mereka biasanya kembali lagi ke sekolah. Mereka belajar sambil bermain di sekolahnya sampai malam, bahkan tak jarang mereka menginap di sekolah.

Murid-murid SMP Qaryah Thayyibah memang sangat menikmati sekolahnya. Bersekolah merupakan sesuatu yang menyenangkan. Guru bukanlah penguasa otoriter di kelas, tetapi teman belajar. Mereka bebas berbicara dengan gurunya dalam bahasa Jawa ngoko, strata bahasa yang hanya pantas untuk berbicara informal dengan kawan akrab.

Di kelas mereka juga sangat bebas. Mereka bisa asyik mengerjakan soal-soal matematika dengan bersenda gurau, ada yang mengerjakan soal sambil bersenandung, yang lain bermain monopoli. Suasana bermain itu bahkan di taman kanak-kanak pun kini makin langka karena mereka dipaksa oleh gurunya untuk membaca dan menulis.

SMP Qaryah Thayyibah lahir dari keprihatinan Bahruddin melihat pendidikan di Tanah Air yang makin bobrok dan semakin mahal. Pada pertengahan tahun 2003 anak pertamanya, Hilmy, akan masuk SMP. Hilmy telah mendapatkan tempat di salah satu SMP favorit di Salatiga. Namun, Bahruddin terusik dengan anak-anak petani lainnya yang tidak mampu membayar uang masuk SMP negeri yang saat itu telah mencapai Rp 750.000, uang sekolah rata-rata Rp 35.000 per bulan, belum lagi uang seragam dan uang buku yang jumlahnya mencapai ratusan ribu rupiah.

"Saya mungkin mampu, tetapi bagaimana dengan orang-orang lain?" tuturnya. Bahruddin yang menjadi ketua rukun wilayah di kampungnya kemudian berinisiatif mengumpulkan warganya menawarkan gagasan, bagaimana jika mereka membuat sekolah sendiri dengan mendirikan SMP alternatif. Dari 30 tetangga yang dikumpulkan, 12 orang berani memasukkan anaknya ke sekolah coba-coba itu. Untuk menunjukkan keseriusannya, Bahruddin juga memasukkan Hilmy ke sekolah yang diangan-angankannya.

"Saya ingin membuat sekolah yang murah, tetapi berkualitas. Saya tidak berpikir saya akan bisa melahirkan anak yang hebat-hebat. Yang penting mereka bisa bersekolah," kata Bahruddin.

Bahruddin mengadopsi kurikulum SMP reguler di sekolahnya. Ia menyatakan tidak sanggup menyusun kurikulum sendiri. Lagi pula sekolah akan diakui sebagai sekolah berkualitas jika bisa memperoleh nilai yang baik dan mendapatkan ijazah yang diakui pemerintah. Karena itulah ia memilih format SMP Terbuka. Akan tetapi, ia mengubah kecenderungan SMP Terbuka sekadar sebagai lembaga untuk membagi-bagi ijazah dengan mengelola pendidikannya secara serius.

Sekolah itu menempati dua ruangan di rumah Bahruddin, yang sebelumnya digunakan untuk Sekretariat Organisasi Tani Qaryah Thayyibah. Jumlah guru yang mengajar sembilan orang, semuanya lulusan institut agama Islam negeri dan sebagian besar di antaranya para aktivis petani.

Guru pelajaran Matematika-nya seorang lulusan SMA yang kini mondok di pesantren. Akses internet gratis 24 jam diperoleh dari seorang pengusaha internet di Salatiga yang tertarik dengan gagasan Bahruddin. Dengan modal seadanya sekolah itu berjalan.

Ternyata pengakuan terhadap keberadaan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah tidak perlu waktu lama. Nilai rata- rata ulangan murid SMP Qaryah Thayyibah jauh lebih baik daripada nilai rata-rata sekolah induknya, terutama untuk mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris.

Sekolah itu juga tampil meyakinkan, mengimbangi sekolah-sekolah negeri dalam lomba cerdas cermat penguasaan materi pelajaran di Salatiga. Sekolah itu juga mewakili Salatiga dalam lomba motivasi belajar mandiri di tingkat provinsi, dikirim mewakili Salatiga untuk hadir dalam Konvensi Lingkungan Hidup Pemuda Asia Pasifik di Surabaya. Pada tes kenaikan kelas satu, nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Inggris siswa Qaryah Thayyibah mencapai 8,86.

SMP Alternatif Qaryah Thayyibah juga maju dalam berkesenian. Di bawah bimbingan guru musik, Soedjono, anak-anak sekolah bergabung dalam grup musik Suara Lintang. Kebolehan anak-anak itu dalam menyanyikan lagu mars dan himne sekolah dalam versi bahasa Inggris dan Indonesia bisa didengarkan ketika membuka alamat situs sekolah www.pendidikansalatiga.net/qaryah. Grup musik anak-anak desa kecil itu telah mendokumentasikan lagu tradisional anak dalam kaset, MP3, maupun video CD album Tembang Dolanan Tempo Doeloe yang diproduksi sekaligus untuk pencarian dana. Seluruh siswa bisa bermain gitar, yang menjadi keterampilan wajib di sekolah itu.

Sulit dibayangkan anak- anak petani sederhana itu masing-masing memiliki sebuah komputer, gitar, sepasang kamus bahasa Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris, satu paket pelajaran Bahasa Inggris BBC di rumahnya. Semua itu tidak digratiskan. Anak-anak memiliki semua itu dengan mengelola uang saku bersama-sama sebesar Rp 3.000 yang diterima anak dari orangtuanya setiap hari. Uang sebesar Rp 1.000 dipergunakan untuk mengangsur pembelian komputer. Untuk sarapan pagi, minum susu, madu, dan makanan kecil tiap hari Rp 1.000, sedangkan Rp 1.000 lainnya untuk ditabung di sekolah. Tabungan sekolah itu dikembalikan untuk keperluan murid dalam bentuk gitar, kamus, dan lain-lainnya.

Tidak mengherankan jika anak-anak dan orangtua mereka bangga dengan sekolah itu. Betapa tidak, di sekolah yang berdekatan dengan rumah di sebuah desa kecil mereka mendapatkan banyak hal yang tidak diperoleh di sekolah-sekolah yang dikelola dengan logika dagang.

Ismanto (43) menceritakan, anaknya sempat down saat mendaftar SLTP di Salatiga dua tahun lalu. Uang masuknya Rp 200.000, belum termasuk buku dan seragam. Tidak ada seorang murid pun ke sekolah dengan berjalan kaki selain anaknya, Emi Zubaiti (13). Kini Emi menjadi seorang anak yang pandai dalam berbagai mata pelajaran, pintar bernyanyi, dan percaya diri. Ia tidak pernah membayangkan bisa menyekolahkan Emi, anak pasangan tukang reparasi sofa dan bakul jamu gendong, mendapat sekolah yang baik.

Bahkan Ismanto ikut menikmati komputer yang dikredit dari uang saku anaknya. Dibimbing anaknya, sekarang Ismanto mulai belajar komputer. "Tidak pernah terpikir, saya bisa membelikan komputer. Kini saya malah bisa ikut menikmati," kata Ismanto.

Catatan pribadi :
---------------------

Nah, kita liat sample aja yah. Bukan berarti pendidikan harus mahal kan? Bisa murah tapi berkualitas. Pendidikan murah berkualitas bukanlah sesuatu yang utopis, tapi bisa dicapai dengan tekad. Siapa bilang sekolah harus mahal?


Diskriminasi Pendidikan

Diambil dari pendidikanmurah
---------------------------------------------------------------

Rasa-rasanya rasa muakku sudah sampai pada puncaknya.

Setelah membaca rubrik Humaniora di harian Kompas edisi hari ini, aku menjadi semakin jengkelsaja dengan kebijakan sistem pendidikan di Indonesia yang kian lama kian wagu saja. Akhir-akhir ini rubrik Humaniora Kompas memang banyak menyoroti tentang kondisi pendidikan di Indonesia. Diawali dengan pemberitaan mengenai ide cemerlang dari salah seorang ketua RW di salah satu desa di Sala Tiga yang dengan kreatifnya menggagas sebuah sekolah alternatif untuk siswa SLTP dengan konsep sekolah terbukanya sampai pada kegilaan mungkin lebih tepat jika disebut kebodohan dari pemerintah mengenai rancangan sistem jalur pendidikan yang baru.

Dalam sistem pendidikan yang baru ini pemerintah akan membagi jalur pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan jalur formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa. Jalur formal mandiri diperuntukkan bagi siswa yang mapan secara akademik maupun finansial. Sedangkan jalur formal standar diperuntukkan bagi siswa yang secara finansial bisa dikatakan kurang bahkan tidak mampu.

Dengan kata lain jalur formal mandiri adalah jalur bagi siswa kaya sedangkan jalur formal standar adalah jalur bagi siswa miskin. Konyol memang. Aku sampai tidak habis pikir bisa-bisanya pendidikan dikotak-kotakkan berdasarkan tingkat fianansial dari peserta didik. Dalam hal ini, pemerintah berdalih bahwa pada jalur formal mandiri akan disediakan beasiswa bagi siswa yang kurang mampu miskin agar dapat menuntut ilmu pada jalur ini. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah Berapa banyak sich beasiswa yang disediakan?.

Pemerintah sendiri menyatakan bahwa setidaknya akan ada lima persen siswa miskin yang bersekolah di setiap sekolah yang menyelenggarakan jalur formal mandiri. Menurut ku ini juga merupakan salah satu bentuk kebodohan yang lain. Coba saja kita bayangkan seandainya ada seorang siswa miskin yang memperoleh beasiswa untuk bersekolah di jalur formal mandiri yang nota bene tempat sekolahnya siswa kaya. Bukankah kondisi seperti ini malah menjadikan siswa miskin ini menjadi minder dan rendah diri. Ketika teman-temannya selalu mengenakan seragam yang bersih dan tersetrika dengan rapi dengan menggunakan pelembut dan pewangi pakaian sedangakan siswa miskin ini hanya mampu mengenakan seragam bekas alias hibahan dari tetangganya, bukankah kondisi seperti ini malah menjadikan siswa miskin ini menjadi objek tontonan bagi siswa-siswa kaya?

Apakah pembagian jalur pendidikan ini merupakan salah satu misi pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa?

Menurutku, pendidikan adalah satu-satunya jalan bagi bangsa kita dalam mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain. Aku cukup salut dengan pemerintah Kamboja dan Thailand yang mulai berbenah diri dengan berfokus pada pendidikan warga negaranya. Kedua negara ini mulai merintis pendidikan gratis bagi warga nya. Pemerintah Kamboja sendiri mulai mengalihkan sembilan belas persen dari total anggarannya yang biasanya digunakan sebagai angaran militer untuk mendukung pengembangan pendidikan.

Lantas bagai mana dengan visi dan misi pendidikan di Indonesia? Mau dibawa ke mana pendidikan di Negara kita? Apakah pendidikan sudah menjadi barang dagangan yang nantinya menghasilkan outputan berupa selembar sertifikat dan ijazah bukannya keahlian dan daya analitis? Dan apakah pendidikan hanya menjadi milik dan hak orang kaya saja?

Apakah memang orang miskin dilarang sekolah?


Kapitalisme Pendidikan

Sudah rahasia umum jika pendidikan sekarang sangat mahal. Yah seperti kata buku, orang miskin dilarang sekolah! Memprihatinkan, tapi itulah kenyataannya. Masuk TK saja bisa mencapai ratusan ribu maupun jutaan rupiah, belum lagi kalo masuk SD-SMP-SMA-Universitas yang favorit. Kalau dihitung, seseorang yang masuk TK sampai dengan universitas yang favorit akan menghabiskan 100 juta lebih. Wow!
Sekolah memang harus mahal, itulah stigma yang tertanam di benak sebagian orang, dari orang awam dan bahkan sampai beberapa pejabat depdiknas. benarkah demikian??? Itu adalah omongan sesat, mereka yang bicara ngelantur begitu sudah pasti tidak pernah lihat kondisi luar. Malaysia, Jerman, bahkan Kuba sekalipun bisa membuat pendidikannya sangat murah dan dapat diaksese oleh sebagian besar lapisan masyarakatnya.
Pendidikan yang kapitalistik sekarang ini, yang bertujuan bisnislah yang membuat biaya-biaya membengkak. Pendidikan diserahkan sebagian kontolnya kepada swasta karena pemerintah yang kurang becus. Ada baiknya swasta ikut mengatur pendidikan sehingga masyarakat pun bisa berperan dalam lembaga pendidikan, tapi walau bagaimanapun ini bukan berarti bahwa pemerintah lepas tangan begitu saja. Ya, kan??? Pendidikan instan ala swasta yang mementingkan bisnis kjadi masalah besar buat dunia pendidikan. kadang terbaca di iklan-iklan, lembaga pendidikan yang menawarkan lulus cepat+absen tidak dihitung+dapat ijazah+dll. Sepertinya, yang penting bagi pendidikan hanyalah dapat ijazah buat kerja saja. Padahal pendidikan ditujukan untuk membangun moral individu dan tingkat pengetahuannya.
Lalu bagaimana caranya agar pendidikan bisa murah?? Wah, ini bukan persoalan gampang,dan jelas butuh pemikiran mendalam. Biar dipikir dan merenung dahulu. Tidak dituliskan disini, karena bakal sangat panjang juga.


Pendidikan Indonesia

Hallo semuanya,
Tulisan ini didedikasikan hanya untuk bangsa tercinta kita, yaitu Indonesia. Betapa semrawutnya kondisi saat ini tidak seharusnya menumpulkan harapan kita akan masa depan yang lebih baik. Tulisan ini tidak bermaksud menggurui ataupun menyalahkan. Kita bertukar pikiran hanya untuk mencari solusi terbaik, siapa tahu solusi ini bisa diimplementasikan dalam kondisi riil.
Tulisan, tanggapan, pengetahuan, artikel rekan-rekan sangat diharapkan sekali agar wawasan kita semua bertambah. Saya selaku pembuat blog ini sangat bisa jadi memiliki banyak kelemahan (seperti keahlian menulis yang masih amatiran!). mungkin ini semua bisa di-cover oleh rekan-rekan semuanya.
Ok, partisipasi rekan-rekan dalam blog inisangat dinantikan. Makasih banyak!

1. Standar Nasional Pendidikan
Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Standar Nasional Pendidikan terdiri dari :


Fungsi dan Tujuan Standar

  • Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu
  • Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
  • Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.

2. Standar Kompetensi

Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik.

Standar Kompetensi Lulusan tersebut meliputi standar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan menengah, standar kompetensi lulusan minimal kelompok mata pelajaran, dan standar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 23 Tahun 2006 menetapkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Lampiran Permen ini meliputi:


Pelaksanaan SI-SKL

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 24 Tahun 2006 menetapkan tentang pelaksanaan standar isi dan standar kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.

3. Standar Proses

Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Selain itu, dalam proses pembelajaran pendidik memberikan keteladanan.

Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.

4. Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan

Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Kualifikasi akademik yang dimaksudkan di atas adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:

  • Kompetensi pedagogik;
  • Kompetensi kepribadian;
  • Kompetensi profesional; dan
  • Kompetensi sosial.


Pendidik meliputi pendidik pada TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SDLB/SMPLB/SMALB, SMK/MAK, satuan pendidikan Paket A, Paket B dan Paket C, dan pendidik pada lembaga kursus dan pelatihan.
Tenaga kependidikan meliputi kepala sekolah/madrasah, pengawas satuan pendidikan, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi, pengelola kelompok belajar, pamong belajar, dan tenaga kebersihan.

5. Standar Sarana dan Prasarana

Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Berikut ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Sarana dan Prasarana.

  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA).

6. Standar Pengelolaan

Standar Pengelolaan terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni standar pengelolaan oleh satuan pendidikan, standar pengelolaan oleh Pemerintah Daerah dan standar pengelolaan oleh Pemerintah.

Berikut ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Pengelolaan.

  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

7. Standar Pembiayaan Pendidikan

Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.

Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud di atas meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap.

Biaya personal sebagaimana dimaksud pada di atas meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.

Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud di atas meliputi:

  • Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji,
  • Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan
  • Biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.

8. Standar Penilaian Pendidikan

Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:

  • Penilaian hasil belajar oleh pendidik;
  • Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan
  • Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.


Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi terdiri atas:

  • Penilaian hasil belajar oleh pendidik; dan
  • Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi.


Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud di atas diatur oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berikut ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Penilaian Pendidikan.

  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.

Senin, 23 Juni 2008

Empat dasar filsafat pendidikan

1. PERENIALISM

  • Tujuan :Membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan social cultural yang lain.
  • Pengetahuan :Segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan atau kebenaran.
  • Nilai :Memprotes terhadap progressivism yang mengingkari supernatural, pendidikan hendaknya merupakan suatu pencarian dan penanaman kebenaran & nilai tsb.
  • Materi Kurikulum :Menekankan pada keabadian , keidealan, kein dahan, dan kebenaran dari pada warisan warisan dan dampak social tertentu.
  • Metode :Guru mempunyai peranan dominant dalam penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di kelas.
  • Para Pemikir Besar Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.



2. ESSENSIALISM

  • Tujuan :Refleksi dari kebudayaan menghantarkan manusia ke dalam fikiran dan alam yang ditandai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  • Pengetahuan :Manusia mempunyai peranan sebagai penghayat pelaksana, dan sebagai pengembang kebudayaan
  • Nilai :Gerakan pendidikan yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme dari progressivism.
  • Materi Kurikulum :Berpusat pada mata-mata pelajaran akademik yang pokok.
  • Metode :Latihan mental dan penguasaan pengetahuan misalnya melalui diskusi, penyampaian informasi, dan membaca
  • Para Pemikir Besar :william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.


3. PROGRESSIVISM

  • Tujuan :Mengembangkan kebudayaan dan telah berhasil untuk terus membina kehidupan dan peradaban dan selalu diupayakan untuk mendapatkan kemajuan.
  • Pengetahuan :Manusia mampu menciptakan berbagai ilmu pengetahuan , kesenian dan sarana untuk menghasilkan perubahan dan pebgembangan.
  • Nilai :Sesuatu yang rasional yang dapat membawakepada kemajuan atau progress.
  • Materi Kurikulum :Pendidikan harus berpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
  • Metode :Menekankan pada setiap individual dalam bentuk psikomotor, kongnitif, dan afektif.
  • Para Pemikir Besar :George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff

4. REKONTRUKTIVISM

  • Tujuan :Pendidikan mempunyai peranan untuk menandakan pembaharuan dan pembangunan masyarakat.
  • Pengetahuan :Manusia tumbuh dan berkembang dalam berkaitannya dengan proses sosial dan sejarah dari pada masyarakat.
  • Nilai :Supaya keadaan masyarakat dapat diperbaiki, pendidikan menjadi wahana penting untuk rekonstruksi.
  • Materi Kurikulum :Menekankan individual tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya pada hasil belajar dari proses.
  • Metode :Agar orang mampu menyumbangkan jasanya dalam masyarakat kompetitif
  • Para Pemikir Besar :Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.


Empat filsafat pendidikan

KEBENARAN ILMIAH DAN KONSEP FILSAFAT PENDIDIKAN

KEBENARAN ILMIAH DAN KONSEP FILSAFAT PENDIDIKAN
Imam Mawardi

Dalam filsafat pendidikan, kebenaran ilmiah sebagai entitas struktur komponen ilmu pendidikan, dimana hakekat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang, cara dan hasilnya akan dipraktekan berdasarkan analisi kritis terhadap struktur dan kegunaaannya.

Aliran-aliran yang ada menempatkan manusia sebagai bagian dari kebudayaan. Sisi kebenarannya dari konsep filsafat dari masing-masing aliran terletak pada konsep dasar orientasi yang membawa dampak pada penerjemahan kebijakan dalam dunia pendidikan. Adapun aliran-aliran tersebut mengelompok sebagai aliran progresivisme, esensialisme, parenialisme dan rekonstruksionisme.

Progresivisme

Progravisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi maslah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri (Barnadib, 1994:28). Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu statemen progrevisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam.

Hal ini karena progrevisme memandang manusia sebagai makhluk yang bebas, aktif, dinamis, dan kreatif. Kedudukan manusia penting dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban. Dengan kemampuan fikiran yang diberikan Tuhan, manusia mampu mampu menciptakan berbagai ilmu pengetahuan, kesenian dan sarana untuk menghasilkan perubahan dan perkembangan (progress), artinya dalam meninjau kebudayaan dan pendidikan, progrevisme mengutamakan tinjauan ke depan dari pada masa lalu (Barnadib, 1996:62).

Untuk menjelaskan pandangan progravisme, misalkan kita ambil contoh dari antropologi, disini dapat dipelajari bahwa manusia membentuk masyarakat, mengembangkan kebudayaan, dan telah berhasil untuk terus membina kehidupan dan persdaban dan selalu diupayakan untuk mendapatkan kemajuan.

Dari psikologi dapat dipelajari bahwa manusia mempunyai akal budi. Dengan kemampuan berfikirnya dan pengembangan imajinasinya ternyata manusia mampu kreatif untuk meringankan hidupnya dengan ciptaannya. Semuanya itu digunakan untuk meraih kemajuan dalam kehidupannya (Barnadib, 1996:19).

Kebenaran menurut pandangan progrevisme adalah sesuatu yang rasional yang dapat membawa kepada kemajuan atau progress. Sefhubungan dengan ini ide-ide, teori-teori atau cita-cita tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada dan mengandung nilai kebenaran, tetapi yang ada dan benar secara ilmiah haruslah dicari artinya dan diimplikasikan bagi suatu kemajuan perkembangan ilmu.

Untuk itulah progrevisme mengadakan perbedaan anatara pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan-penerangan yang terhimpun dari pengalaman yang siap untuk digunakan. Kebenaran adalah hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengerahkan beberapa segmen pengetahuan agar dapat menimbulkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi tertentu, yang mungkin keadaannya kacau Barnadib, 1996:31).

Esensialisme

Esensialisme dalam memandang kebudayaan dan pendidikan berbeda dengan progrevisme, kalau progrevisme menganggap pandangan bahwa banyak hal itu mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai itu berubah dan berkembang, esensialisme menganggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat karena fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu (Barnadib, 1996:38).

Di samping itu esensialisme memandang manusia sebagai mahluk budaya, artinya keberadaan manusia mempunyai peranan sebagai penghayat, pelaksana, dan sebagai pengembang kebudayaan. Dalam kehidupannya manusia dilingkupi oleh nilai dan norma budaya, agar kehidupan manusia bermakna dan mantap perlu berlandaskan pada nilai dan norma budaya yang mantap, telah teruji oleh waktu.

Makna atau nilai kebenaran ilmiah yang dikemukakan aliran ini sebagaimana yang diungkapkan Richard Pratte (1977:139), adalah sikap konservatisme kefilsafatan, artinya bahwa kebenaran yang dilakukan manusia adalah relatif karena ketidaksempurnaan manusia,. Tapi setidaknya kebenaran yang dilakukan menurut teori ini adalah kemampuan manusia mengembangkan norma dan nilai yang mewarnai kebudayaan--termasuk pendidikan--, sehingga tidak dengan mudah meninggalkan prestasi serta produknya (kebudayaan, norma, dan nilai termasuk sebagian dari produk dan prestasi itu).

Ini menunjukkan bahwa anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah saja. Berarti bukan hanya dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan antara keduannya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan dan ide-ide. Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas, yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri (Butler, 1951:161).

Disinilah fungsi pendidikan dalam berbagi bentuk dan manifestasinya yang senantiasa berkembang an berubah, merupakan refleksi dari kebudayaan mengantarkan manusia ke dalam fikiran dan alam modern yang ditandai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.

Perenialisme

Perenialisme dalam memandang keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial kultural yang lain. Ibarat kapal yang akan berlayar, zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang demikian ini merupakan tugas yang pertama-tama dari filsafat dan filsafat pendidikan (Barnadib, 1996:59).

Sesuai dengan asal katanya, yaitu perenial: hal-hal yang ada sepanjang masa, perenialisme mengikuti tradisi perkembangan intelektuali akademik yang ada pada dua zaman, Yunani dan abad pertengahan. hal-hal yang ada sepanjang masa inilah yang perlu digunakan untuk menatap kehidupan sekarang yang penuh dengan liku-liku (Pratte,1977:166). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perenialisme bersifat regresif, artinya kembali kepada kebenaran yang sesungguhnya sebagaimana telah diletakkkan dasarnya oleh para filosof zaman lampau.

Motif dengan mengambil jalan regresif bukan hanya nostalgia atau rindu akan nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja, malainkan berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi pembangunan kebudayaan abad ini (Barnadib, 1996:59).

Dalam memandang pengetahuan, perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir dan benda-benda (Barnadib, 1996:67). Maksudnya adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. Hal ini berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu, artinya telah memenuhi syarat-syarat logis dan memiliki evidensi diri bagi pengertian yang dirumuskan.

Rekonstruksionisme

Aliran ini memandang manusia sebagai makhluk sosial. Manusia tumbuh dan berkembang dalam keterkaitannya dengan proses sosial dan sejarah dari pada masyarakat. Pendidikan mempunyai peranan untuk menadnakan pembaharuan dan pembangunan masyarakat (Barnadib, 1996:63).

Perkembangan ilmu dan tehnologi tidak memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi masyarakat, namun juga membawa dampak negatif. Masyarakat yang hidup damai berangsur-angsur diganti oleh masyarakat yang coraknya tidak menentu, tiada kemantapan, dan yang lebih penting dari itu lepasnya individu dalamketerkaitannya dengan masyarakat serta adanya keterasingan, hal ini menciptakan budaay hegemoni sebagai ideologi.

George F. Kneller (1984:195) membuat ikhtisar pandangan Michael W. Apple tentang ideologi yang dimaksud ada 3 unsur, (1) pandangan bahwa kemajuan itu tergantung dari sains dan industri, (2) suatu kepercayaan dalam masyarakat bahwa agar orang mampu menyumbangkan jasanya dalam masyarakat kompetitif, (3) kepercayaan bahwa hidup yang memadai sama dengan menghasilkan dan mengkonsumsikan barang dan jasa bagi masyarakat . Sehingga menurut Apple ketiganya tercermin dalam kurikulum sekolah. Agar keadaan masyarakat dapat diperbaiki, pendidikan menjadi wahana penting untuk rekonstruksi.

Hal tersebut yang menyebabkan tumbuhnya pikiran kritis rekonstruksionisme yang terjadi dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan rekonstruksi sebagai tujuan mencari titik kebenaran melalui lembaga pendidikan.